Pecinan Semarang
Pecinan
Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang
Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang
dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu
daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam
kawasan Pecinan.
Daerah
core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di
Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan.
Daerah ini dibatasi:
·
Batas
Utara : Jalan gang Warung, Pekojan
·
Batas
Selatan : Kali Semarang
·
Batas
Timur : Kali Semarang
·
Batas
Barat : Jalan Beteng dan Pedamaran
Dengan jalan utamanya sekarang
adalah :
·
Jalan
Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari jalan Pekojan
·
Jalan
Gang warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
·
Dan
Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan IntiPecinan
sejak dulu.
Jalan-jalan
lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru,
dan gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat
Benteng yang dibangun untuk melindungi penduduk di dalamnya dari serangan
pasukan musuh. Masyarakat di daerah ini 99% merupakan WNI keturunan. Peruntukan
lahan di kawasan ini adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa. Banyaknya
Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok tersendiri.
Daerah
yang berbatasan langsung dengan daerah inti namun masih dapat diidentifikasi
sebagai daerah Pecinan meliputi : Pekojan, Kranggan, Gang Lombok, Petolongan,
Petudungan, Gabahan, dan sebagian Jagalan.
·
Pekojan
menghubungkan kawasan Pecinan dengan daerah kota Lama (dahulu kawasan
pemerintahan Belanda)
·
Petudungan
dengan kawasan Timur kawasan Pecinan
o Kranggan yang merupakan pusat
perdagangan emas menghubungkan Pecinan dengan Jalaln Gajah Mada.
o Wotgandul dengan kawasan
Brumbungan dan Jagalan.
Masyarakat
yang bermukim di kawasan Pecinan Semarang ini 75% merupakan WNI keturunan,
sisanya merupakan warga pribumi dan WNA. Klenteng masih dapat ditemukan di
beberapa tempat. Peruntukan lahan pula sebagai pusat perdagangan dan jasa.
Kawasan
Pecinan Semarang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang telah datang
secara berangsur-angsur ke Semarang sejak beberapa abad yang lalu. Walaupun
tidak diketahui secara pasti kapan orang-orang Cina datang dan bermukim di
Indonesia, beberapa ahli sejarah seperti Lombard (1996) dan Reid (1999)
menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah terjalin hubungan dagang dan
kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal ini adalah
kerajaan Majapahit.
Diperkirakan
pada sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong
Batu atau Simongan dan di tepi sungai Semarang (Yoe, 1933 : 13). Pemukiman
masyarakat Cina dipilih daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah
Simongan ini berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan
Bandar Semarang. Letaknya yang strategis ini menjadi kunci utama dari bandar
Semarang. Daerah yang terletak di tengah kota Semarang waktu itu belum memadai
untuk tempat hunian karena masih berupa rawa dan tegalan yang tidak sehat untuk
dihuni. (Budiman.1978:11)
Kedatangan
bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 telah merubah kehidupan orang-orang
Cina yang telah membentuk komunitas di Gedung Batu. Pada tahun 1740 di Batavia
telah terjadi pemberontakan orang Cina melawan Belanda. Pemberontakan ini
dipimpin oleh Souw Pan Jiang atau sering disebut Souw Panjang. Pada
pemberontakan ini banyak orang Cina terbunuh dan yang sebagian lagi melarikan
diri ke arah timur melalui pantai utara Jawa sambil terus melakukan perlawanan
terhadap pemerintah Belanda. Setelah tiba di Semarang Souw Pan Jiang menghimpun
orang-orang Cina untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Karena
terdesak, pemerintah Belanda meminta bantuan pasukan dari Batavia untuk
menumpas pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan padam, orang-orang Cina
banyak yang melarikan diri ke Kartasura untuk bergabung dengan pasukan
Trunojoyo melawan Belanda. Akibat dari pemberontakan ini , pemerintah Belanda
membuat kebijakan untuk memindahkan pemukiman komunitas Cina dari Gedongbatu ke
kawasan yang dilingkari oleh kali Semarang yang kita kenal dengan Pecinan.
Pemindahan pemukiman komunitas Cina ini dengan maksud untuk memudahkan pemerintah
Belanda melakukan pengawasan terhadap komunitas Cina di Semarang.
Kawasan
Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni
oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun
Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama. Interaksi sosial antara
warga etnis Cina dengan pribumi di Semarang
berbeda dengan di daerah lain. Dalam hubungannya, etnis Tionghoa
berhubungan baik dengan rakyak pribumi. Hubungan mereka sangat rukun dan
harmonis berbeda dengan masyarakat Tionghoa di daerah lain ditandai dengan
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diberbagai daerah sepaerti di solo pada 22-23
november 1980 yang dipicu hanya karena perkelahian antara 3 siswa sekolah guru
dengan pemuda Tionghoa.
Sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapka aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin.
Sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapka aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin.
Perbedaan ini segera
berubah menjadi perbedaan strata sosial
etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan
masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul
pertentangan-pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan
konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa
silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka.
Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging,
dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC
yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan
sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam
konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi yaitu konoflik Jawa-Cina selama
Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial
pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa
rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial
di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980,
kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru
kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC
untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memang sangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memang sangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap.
Konflik-konflik
horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan
kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di
kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun
mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja
tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas
Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional,
pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain
yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat.
Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi di
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar