Perkembangan Ekonomi, Sosial Budaya Masyarakat Pecinan Semarangtahun 1950-1960

Perkembangan Ekonomi, Sosial Budaya Masyarakat Pecinan Semarangtahun 1950-1960




TUGAS WAWANCARA
Perkembangan Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Kota Semarang Tahun 1950-1960

Untuk Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah        : Sejarah Lisan
Dosen Pengampu            : Nina Witasari, S. S., M. Hum

Oleh:
1.      Syafrizal Febriawan             3101408021
2.      Aswin As’agaf                       3101408033
3.      Nur Alifah                             3101408062
4.      Ngartiningsih                         3101408096
5.      Nadia Ayu Kusuma              3101408104
6.      Feby Widi Setyo U                3101408105
7.      Dwi Septi S                            3101408110
8.      Galuh Ayu Santika               3101408111


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berabad-abad lamanya, orang Cina dari beragam provinsi sebelah Tenggara Cina telah mulai pindah menetap di kepulauan Indonesia. Diperkirakan keluarga Hokkien adalah pelopor terjadinya migrasi tersebut. Dengan dimulainya era abad ke-20, sejarah panjang kepindahan ini telah membentuk suatu komunitas Cina yang besar dan kuat dikawasan Hindia Belanda (Twang Peck, 2007: 27).
Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan Tionghoa kerap kali ditujukan pada warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di IndonesiaHubungan yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dan daerah-daerah di Indonesia termasuk Semarang telah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Interaksi sosial masyarakat majemuk dan berbeda adat istiadat mengharuskan mereka untuk beradaptasi dengan baik agar dapat hidup secara berdampingan. Hal ini dikarenakan keberadaan komunitas Tionghua baik secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pribumi. Sebagai kawasan yang cukup eksklusif di daerah Semarang, Pecinan menjadi sebuah bagian penting dalam pelestarian budaya serta penggerak ekonomi kota Semarang
Pola dagang serta jaringan bisnis adalah beberapa faktor yang menjadikan mereka muncul ke permukaan. Perkembangan ekonomi yang tidak merata dimana masyarakat Tionghoa lebih mendominasi dibandingkan etnis mayoritas lain menimbulkan kecemburuan sosial secara lebih luas. Situasi seperti ini mengakibatkan terjadinya perpecahan dalam kerangka mayoritas-minoritas rasial.
Di satu sisi terdapat rasa sentiment anti-Cina di antara masyarakat Indonesia sedangkan di sisi lain bangsa yang hendak didirikan oleh masyarakat Indonesia tidak akan dapat hidup dan berdiri tegak tanpa kekuatan ekonomi kelas pengusaha Cina. Berdasarkan uraian diatas penulis berkeinginan melakukan penelitian dengan judul: “ Perkembangan Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Kota Semarang Tahun 1950-1960 ”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas maka timbul beberapa permasalahan yaitu:
1.      Bagaimana perkembangan ekonomi masyarakat Pecinan?
2.      Bagaimanakah interaksi sosial yang terjalin antara warga Tionghoa dengan penduduk pribumi di daerah Pecinan?
3.      Bagaimanakah cara warga Tionghoa mangembangkan Budayanya?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1.      Untuk mengetahui perkembangan ekonomi masyarakat Pecinan
2.      untuk mengetahui interaksi sosial yang terjalin antara warga Tionghoa dengan penduduk pribumi di daerah Pecinan?
3.      Untuk mengetahui cara warga Tionghoa mangembangkan Budayanya?










BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH
PECINAN SEMARANG

Pecinan Semarang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah. Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat dibedakan menjadi daerah core (inti) dan daerah periphery yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam kawasan Pecinan.
            Daerah core (inti) merupakan lokasi perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:
1.       Batas Utara     : Jalan gang Warung, Pekojan
2.       Batas Selatan  : Kali Semarang
3.       Batas Timur     : Kali Semarang
4.       Batas Barat     : Jalan Beteng dan Pedamaran
Dengan jalan utamanya sekarang adalah :
a.       Jalan Gang Pinggir yang merupakan penerusan dari jalan Pekojan
b.       Jalan Gang warung yang menerus ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
c.        Dan Jalan Beteng yang sekaligus merupakan batas sebelah Barat kawasan IntiPecinan sejak dulu.
            Jalan-jalan lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru, dan Gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat Benteng yang dibangun untuk melindungi penduduk di dalamnya dari serangan pasukan musuh. Masyarakat di daerah ini 99% merupakan WNI keturunan. Peruntukan lahan di kawasan ini adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa. Banyaknya Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok tersendiri.
            Daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti namun masih dapat diidentifikasi sebagai daerah Pecinan meliputi : Pekojan, Kranggan, Gang Lombok, Petolongan, Petudungan, Gabahan, dan sebagian Jagalan.
1.       Pekojan menghubungkan kawasan Pecinan dengan daerah kota Lama (dahulu kawasan pemerintahan Belanda)
2.       Petudungan dengan kawasan Timur kawasan Pecinan
a.       Kranggan yang merupakan pusat perdagangan emas menghubungkan Pecinan dengan Jalaln Gajah Mada.
b.       Wotgandul dengan kawasan Brumbungan dan Jagalan
Dewasa ini Perkembangan dan pembangunan kota Semarang berlangsung dengan sangat pesat. Gedung-gedung pencakar langit banyak berdiri kokoh ditengah pertumbuhan masyarakat yang semakin tinggi. Keberadaan pusat perbelanjaan modern dan perumahan mewah telah mengambil sebagian besar ruang fisik. Akan tetapi ada sebuah perkampungan yang tetap dipertahankan hingga saat ini dengan segala macam keunikan yang dimilikinya yaitu Pecinan.
            Pecinan merupakan salah satu daerah tua yang ada di Semarang, yang mempunyai ciri khas tersendiri. Gedung-gedung yang sudah tua, bahkan banyak bangunan yang sudah tidak ditempati yang menjadi ciri khusus dari Pecinan itu sendiri. Selain itu, terdapat banyak klenteng-klenteng yang digunakan untuk sembahyang warga disekitar. Akan tetapi sangat disayangkan potensi yang ada masih belum dapat di dikembangkan secara optimal.








BAB III
PECINAN 1950-1965

A.  Perkembangan Ekonomi Pecinan
            Mendekati abad ke-20 telah muncul suatu rantai penghubung struktural yang sangat jelas dalam komunitas Cina, antara sejarah kepindahan dengan posisi ekonomi mereka. Warga Cina dengan status ekonomi lebih tinggi di Jawa kebanyakan adalah Cina peranakan, dan hanya sedikit dari kalangan singkeh (pendatang). Bagi banyak tokoh pemimpin nasional Indonesia, terutama mereka yang bertanggung jawab masalah ekonomi revolusi telah banyak memberi makna atas peran ekonomi pengusaha Cina bagi bangsa Indonesia.
            Bagaimanapun era 1950-an dan awal 1960-an adalah saksi atas upaya lebih jauh yang dilakukan demi indigenisasi ekonomi dan disusul dengan usaha menyingkirkan peran Cina yang pada gilirannya sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi Indonesia. Sejak awal revolusi penguasa Republik memandang masyarakat Cina sebagai sumber keuangan yang penting. Kewajiban untuk memberi sumbangan finansial yang telah dimulai pada masa pendudukan Jepang terus berlanjut dengn momentum yang lebih besar disepanjang era revolusi (Twang Peck, 2007: 412).
            Ketegangan yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan pengusaha Cina tidak dapat dihindari lagi seiring semakin pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat Tionghoa sebagai kaum minoritas. Walaupun sebenarnya posisi orang Tionghoa mulai berubah setelah datangnya bangsa Barat, terutama setelah orang Belanda membangun kekuasaan kolonial mereka. Pemerintah kolonial Belanda membagi penduduk Hindia Belanda (nama Indonesia di masa penjajahan Belanda) setidaknya ke dalam tiga kelompok rasial yaitu:
1.       Eropa (terutama Belanda)
2.       Timur asing (terutama Tionghoa) dan penduduk pribumi
3.       Ketiga kelompok ini memainkan peran ekonomi yang berbeda-beda.
 Orang Belanda bergerak dalam bisnis perdagangan besar, orang-orang Tionghoa dalam perdagangan perantara antara penghasil dan pembeli, sedang kaum pribumi sebagai petani dan pedagang kecil asongan. Dari kenyataan tersebut maka Belanda telah menerapkan politik Divide et Impera alias politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung kekuasaan penjajahan. Mereka takut jika terdapat persatuan antar-ras yang berbeda itu yakni antara kelompok Tionghoa dengan kaum pribumi dapat mengancam bahkan dapat mengakhiri kekuasaan kolonial.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memang sangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan.
Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Satu hal yang sangat unik dari pola piker orang Cina adalah :’’ seandinya kita memiliki pendapatan sebesar Rp 100.000,- dan tiap harinya pengeluaran kita Rp 30.000,- maka saat kita mendapatkan penghasilan diatas Rp 100.000,- pengeluaran kita harus tetap Rp 30.000,- dan hal itu harus tetap dilakukan sampai kita memiliki kehidupan yang mapan”. Hal ini membuktikan bahwa orang Tionghoa memiliki prinsip yang sangat teratur dalam mengatur keuangan mereka.
   Jika dua karakter yang memang sejak semula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap.
Walaupun pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya. Akan tetapi Potensi konflik yang kerap kali dikhawatirkan akan terjadi antar warga Tionghoa dengan penduduk pribumi akibat kesenjangan Ekonomi tampaknya tidak pernah terjadi di Pecinan Semarang. Penduduk asli di sekitar Pecinan lebih memilih untuk Hidup bersama dan saling menguntungkan seperti yang dikatakan Pak Mintarjo seorang pedagang ayam Goreng di kawasan Pecinan. Ketika ia ditanya apakah Bapak terlibat dalam kerusuhan antara orang Tionghoa dan warga pribumi yang pernah terjadi di Semarang ia mengatakan” Ya, ndak urusan saya, buat apa? Kita pedagang cari uang, nanti saya urusan. Cina tau, o itu Pak Min yang ikut konflik. Mati saya.” Bahkan pak Mintarjo juga mengatakan bahwa banyak pengusaha-pengusaha di daerah tersebut yang memperkerjakan orang pribumi.


B.     Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Tionghoa jaman dahulu tidak jauh berbeda dengan sekarang ini. Secara garis besar kehidupan sosial mereka tidak begitu baik salah satunya disebabkan karena tidak adanya saling komunikasi antar warga. Mereka lebih senang hidup sendiri-sendiri atau yang sering disebut dengan individualis. Berdasarkan keterangan dari salah satu narasumber wawancara yang Mengatakan bahwa “kalau ada yang bilang, warga WNI keturunan Cina itu akur “Noncent” itu tidak benar. Jadi mereka itu hidupnya itu individu, tidak memikirkan teman maupun tetangga. Kecuali kerabatnya dia sendiri. Bahkan anak mereka juga dilarang bergaul dengan komunitas cina yang lain dan biasanya mereka memilihkan sekolah-sekolah khusus bagi anaknya”. Akan tetapi berbeda kasusnya apabila kita melihat hubungan mereka dengan warga pribumi. Kawasan Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama. Interaksi sosial antara warga etnis Cina dengan pribumi di Semarang  berbeda dengan di daerah lain. Dalam hubungannya, etnis Tionghoa berhubungan baik dengan rakyak pribumi. Hubungan mereka sangat rukun dan harmonis berbeda dengan masyarakat Tionghoa di daerah lain ditandai dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diberbagai daerah sepaerti di solo pada 22-23 november 1980 yang dipicu hanya karena perkelahian antara 3 siswa sekolah guru dengan pemuda Tionghoa.
(Setiono, 2008: 1025)
Pada jaman Bapak Soekarno, kerukunan antara WNI keturunan itu bisa dikatakan bagus. Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dan lain-lain. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Namun sejak jamannya Bapak Soeharto mulai pecah. Kerusuhan anti tionghoa terjadi dimana-mana. Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya. Jadi hidupnya mereka itu seakan-akan takut dihantui rasa takut untuk bergaul, dan membayangkan saling teman itupun mereka takut.
Mulai rukun lagi  itu mulai masa pamerintahan Bapak Abdul Rahman Wahid yang memberikan kebebasan kepada masyarakat yang telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walaupun belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan.
Di komplek pecinan Semarang ini masyarakatnya susah untuk diatur untuk kegiatan seperti kumpulan bulana RT tidak pernah datang paling-paling yang datamg hanya 3 orang sampai 10 orang, padahal penduduknya dalam 1 RT ada 60-an KK. Pengadaan kerjabakti untuk membersihkan lingkungan juga tidak pernah ada yang mau datang. Apalagi kalau ada tetangga mereka yang sakitpun mereka tidak mengetahui dan tidak ada yang menjenguk apalagi uang sosial, semuanya biaya sendiri. Kegiatan-kegiatan menyambut dan memeriahkan  HUT-RI juga tidak pernah ada.

C. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa           
Selama ini warga Tionghoa tidak dapat secara bebas melaksanakan adat istiadat mereka. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak memberikan ijin untuk merayakan kebudayaan mereka sepetri Imlek dan Barongsai. Barulah sejak adanya  Peraturan Presiden No.6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14/1967 yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Inpres itu melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka.
Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan oleh etnik Tionghoa.
Semakin berkembangnya jaman, kebudayaan yang ada di daerah Pecinan sendiri juga mengalami banyak perubahan. Budaya asli atau khas dari para warga yang memang mayoritas keturunan Tionghoa asli juga sudah bergeser. Hal itu terlihat jelas dari semakin berkurangnya perayaan-perayaan yang mereka adakan, sebagai peringatan hari besar mereka yang beragama Konghucu. Berkurangnya perayaan yang diadakan disebabkan karena warga Tionghoa di Pecinan sendiri sudah banyak yang berpindah keyakinan, ke Kristen maupun Katolik. Selain itu, kendala yang memang berpengaruh besar adalah kurangnya atau terbatasnya dana yang ada, seperti diketahui bahwa untuk mengadakan perayaan besar, dibutuhkan dana yang besar pula, sehingga pihak klenteng sebagai pengurus perayaan juga keberatan dalam hal pendanaan. Ijin dari pemerintah setempat juga menjadi penghalang, karena demi terlaksananya perayaan besar masyarakat Tionghoa, maka juga melibatkan penutupan, maupun pengalihan jalan, yang hal tersebut pasti menghambat laju lalu lintas, maupun perekonomian, apalagi kawasan Pecinan yang sangat berdekatan dengan pasar besar di Semarang, yaitu Pasar Johar.
Hilangnya budaya khas yang ada di Pecinan sendiri juga dikarenakan semakin sibuknya aktifitas yang dilakukan oleh warga sekitar. Hal itu dapat dilihat pula dari sekian banyak klenteng, hanya beberapa orang saja yang masih melakukan sembahyang setiap harinya. Arus modernisasi juga membawa banyak pengaruh terhadap kebudayaan di sana. Terbukti bahwa warga asli Tionghoa yang sejak kecil tinggal di sana sampai sekarang, sudah jarang ditemukan.
Kebanyakan warga sudah berpindah ke tempat lain. Bangunan yang menjadi salah satu ciri khas di Pecinan pun sudah tak menjadi pusat perhatian dari masyarakat sekitar. Usangnya bangunan di sana yang memang kebanyakan berupa ruko (rumah toko) juga sudah tidak terawat lagi. Hanya beberapa yang tampak direnovasi. Hal ini berbeda dengan klenteng-klenteng yang ada di sana, yang dengan semakin berkembangnya zaman ini, banyak terjadi adanya perubahan dengan adanya renovasi. Klenteng yang ada di sana keadaannya sangat bagus dan terlihat mencolok dari beberapa bangunan yang ada di sana.
 Kehidupan budaya di sekitar klenteng memang masih tetap dipertahankan, namun sudah tidak begitu mencolok, karena sudah tidak secara terbuka, disebabkan tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar. Adanya perayaan disekitar klenteng juga hanya bekerjasama dengan klenteng yang menganut dewa yang sama tanpa mengikutsertakan warga sekitar, mereka hanya mengundang warga yang sering beribadah di sana.

BAB IV
PENUTUP

Simpulan
            Masyarkat pecinan apabila dilihat dari kehidupan sosialnya masih cenderung bersifat individualis. Mereka juga lebih senang tinggal di daerah lain yang lebih nyaman seperti Puri Anjasmoro, sedangkan rumah mereka yang ada di Pecinan hanya digunakan untuk usaha. Akan tetapi apabila dilihat dari segi ekonomi yang selama ini menjadi sumber sentiment antara warga pribumi dan Tionghoa sehingga, kerap kali menimbulkan konflik justru tidak pernah menjadi masalah di Pecinan Semarang. Mereka lebih senang hidup berdampingan sehingga dapat saling menguntungkan seperti simbiosis yang terjadi  antara pedagang pribumi dan warga Cina yang saling membutuhkan. Walaupun secara sosial tidak saling gotong royang tetapi justru melalui kepentingan ekonomi mereka bekerjasama.
            Kehidupan budaya mereka mengalami pasang surut sejak jaman kemerdekaan hingga saat ini. Sebelumnya pada tahun 1950-1965 warga Tionghoa tidak sepenuhnya mendapat kebebasan dalam merayakan kebudayaan mereka barulah setelah Presiden Abdul Rahman Wahid perayaan seperti Imlek dapat secara terbuka dirayakan. Akan tetapi sangat disayangkan bangunan yang ada di daerah pecinan kurang mendapat paerhatian sebagai warisan Budaya. 









DAFTAR PUSTAKA

Twang Peck Yang. 2007. Elit Bisnis Cina Di Indonesia. Jakarta: Diadit Media.
Setiono, G Benny. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
http:/ dtunas. Edublogs. Org/ 2008/ 10/ 24/ intermezzo- Pecinan of Semarang.
http:/ Marijelajahindonesia. Blogs. Com.
http:/ Pendidikan Kritis. Wordpress. Com
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8504.0

Wawancara dengan Bapak Hendra Harsono pada tanggal 13 November 2010
Wawancara dengan Pak Mintarjo pada tanggal 13 November 2010
Wawancara dengan Bapak LEE CHOU CHEN pada tanggal 7 Desember 2010
Wawancara dengan Ibu Rahayu pada tanggal 7 Desember 2010







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top