
TUGAS
WAWANCARA
Perkembangan Ekonomi,
Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Kota Semarang Tahun 1950-1960
Untuk
Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah : Sejarah
Lisan
Dosen Pengampu : Nina Witasari, S. S.,
M. Hum
Oleh:
1. Syafrizal
Febriawan 3101408021
2. Aswin
As’agaf 3101408033
3. Nur
Alifah 3101408062
4. Ngartiningsih 3101408096
5. Nadia
Ayu Kusuma 3101408104
6. Feby
Widi Setyo U 3101408105
7. Dwi
Septi S 3101408110
8. Galuh
Ayu Santika 3101408111
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berabad-abad
lamanya, orang Cina dari beragam provinsi sebelah Tenggara Cina telah mulai
pindah menetap di kepulauan Indonesia. Diperkirakan keluarga Hokkien adalah
pelopor terjadinya migrasi tersebut. Dengan dimulainya era abad ke-20, sejarah
panjang kepindahan ini telah membentuk suatu komunitas Cina yang besar dan kuat
dikawasan Hindia Belanda (Twang Peck, 2007: 27).
Masyarakat Tionghoa adalah warga pendatang yang bertempat
tinggal, menetap atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan
etnisitas yang dikenal sebagai Pecinan. Sebutan Tionghoa kerap kali ditujukan
pada warga keturunan Cina yang sudah lama menetap di Indonesia. Hubungan yang terjadi antara
masyarakat Tionghoa dan daerah-daerah di Indonesia termasuk Semarang telah berlangsung
sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Interaksi
sosial masyarakat majemuk dan berbeda adat istiadat mengharuskan mereka untuk beradaptasi
dengan baik agar dapat hidup secara berdampingan. Hal ini dikarenakan keberadaan komunitas
Tionghua baik secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat pribumi. Sebagai kawasan yang cukup eksklusif di daerah Semarang, Pecinan
menjadi sebuah bagian penting dalam pelestarian budaya serta penggerak ekonomi
kota Semarang
Pola dagang serta jaringan bisnis adalah beberapa faktor
yang menjadikan mereka muncul ke permukaan. Perkembangan ekonomi yang tidak
merata dimana masyarakat Tionghoa lebih mendominasi dibandingkan etnis
mayoritas lain menimbulkan kecemburuan sosial secara lebih luas. Situasi
seperti ini mengakibatkan terjadinya perpecahan dalam kerangka
mayoritas-minoritas rasial.
Di satu sisi terdapat rasa sentiment anti-Cina di antara
masyarakat Indonesia sedangkan di sisi lain bangsa yang hendak didirikan oleh masyarakat
Indonesia tidak akan dapat hidup dan berdiri tegak tanpa kekuatan ekonomi kelas
pengusaha Cina. Berdasarkan uraian diatas penulis berkeinginan melakukan
penelitian dengan judul: “ Perkembangan
Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Pecinan Kota Semarang Tahun 1950-1960 ”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas maka timbul beberapa permasalahan
yaitu:
1.
Bagaimana perkembangan ekonomi masyarakat Pecinan?
2.
Bagaimanakah interaksi sosial yang terjalin antara warga
Tionghoa dengan penduduk pribumi di daerah Pecinan?
3.
Bagaimanakah cara warga Tionghoa mangembangkan Budayanya?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai yaitu:
1.
Untuk mengetahui perkembangan ekonomi masyarakat Pecinan
2.
untuk mengetahui interaksi sosial yang terjalin antara warga
Tionghoa dengan penduduk pribumi di daerah Pecinan?
3.
Untuk mengetahui cara warga Tionghoa mangembangkan
Budayanya?
BAB
II
GAMBARAN
UMUM DAERAH
PECINAN
SEMARANG
Pecinan Semarang
merupakan bagian dari wilayah kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah.
Berdasarkan ciri fisik dan masyarakatnya, kawasan pecinan Semarang dapat
dibedakan menjadi daerah core (inti)
dan daerah periphery yaitu
daerah yang berbatasan langsung dengan daerah inti dan masih termasuk dalam
kawasan Pecinan.
Daerah core (inti) merupakan lokasi
perkampungan Cina lama, tempat bangsa Cina di Semarang ditempatkan pertama kali
sejak perpindahan dari daerah Simongan. Daerah ini dibatasi:
1.
Batas Utara : Jalan gang Warung, Pekojan
2.
Batas Selatan : Kali Semarang
3.
Batas Timur : Kali Semarang
4.
Batas Barat : Jalan Beteng dan Pedamaran
Dengan jalan utamanya sekarang
adalah :
a.
Jalan Gang Pinggir yang
merupakan penerusan dari jalan Pekojan
b.
Jalan Gang warung yang menerus
ke Jalan Wahid Hasyim (Kranggan)
c.
Dan Jalan Beteng yang sekaligus
merupakan batas sebelah Barat kawasan IntiPecinan sejak dulu.
Jalan-jalan
lain seperti Gang Besen, Gang tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, Gang Baru,
dan Gang Cilik berada di kawasan ini. Di daerah inilah dulu terdapat empat
Benteng yang dibangun untuk melindungi penduduk di dalamnya dari serangan
pasukan musuh. Masyarakat di daerah ini 99% merupakan WNI keturunan. Peruntukan
lahan di kawasan ini adalah sebagai pusat perdagangan dan jasa. Banyaknya
Klenteng yang tersebar di kawasan ini menjadi ciri mencolok tersendiri.
Daerah
yang berbatasan langsung dengan daerah inti namun masih dapat diidentifikasi
sebagai daerah Pecinan meliputi : Pekojan, Kranggan, Gang Lombok, Petolongan,
Petudungan, Gabahan, dan sebagian Jagalan.
1.
Pekojan menghubungkan kawasan
Pecinan dengan daerah kota Lama (dahulu kawasan pemerintahan Belanda)
2.
Petudungan dengan kawasan Timur
kawasan Pecinan
a.
Kranggan yang merupakan pusat
perdagangan emas menghubungkan Pecinan dengan Jalaln Gajah Mada.
b.
Wotgandul dengan kawasan Brumbungan
dan Jagalan
Dewasa ini Perkembangan dan
pembangunan kota Semarang berlangsung dengan sangat pesat. Gedung-gedung
pencakar langit banyak berdiri kokoh ditengah pertumbuhan masyarakat yang
semakin tinggi. Keberadaan pusat perbelanjaan modern dan perumahan mewah telah
mengambil sebagian besar ruang fisik. Akan tetapi ada sebuah perkampungan yang
tetap dipertahankan hingga saat ini dengan segala macam keunikan yang
dimilikinya yaitu Pecinan.
Pecinan merupakan salah satu daerah tua yang ada di Semarang, yang
mempunyai ciri khas tersendiri. Gedung-gedung yang sudah tua, bahkan banyak
bangunan yang sudah tidak ditempati yang menjadi ciri khusus dari Pecinan itu
sendiri. Selain itu, terdapat banyak klenteng-klenteng yang digunakan untuk
sembahyang warga disekitar. Akan tetapi sangat disayangkan potensi yang ada masih belum
dapat di dikembangkan secara optimal.
BAB
III
PECINAN
1950-1965
A.
Perkembangan Ekonomi Pecinan
Mendekati abad ke-20 telah muncul
suatu rantai penghubung struktural yang sangat jelas dalam komunitas Cina,
antara sejarah kepindahan dengan posisi ekonomi mereka. Warga Cina dengan
status ekonomi lebih tinggi di Jawa kebanyakan adalah Cina peranakan, dan hanya
sedikit dari kalangan singkeh (pendatang). Bagi banyak tokoh pemimpin nasional
Indonesia, terutama mereka yang bertanggung jawab masalah ekonomi revolusi
telah banyak memberi makna atas peran ekonomi pengusaha Cina bagi bangsa
Indonesia.
Bagaimanapun era 1950-an dan awal
1960-an adalah saksi atas upaya lebih jauh yang dilakukan demi indigenisasi
ekonomi dan disusul dengan usaha menyingkirkan peran Cina yang pada gilirannya
sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi Indonesia. Sejak awal revolusi
penguasa Republik memandang masyarakat Cina sebagai sumber keuangan yang
penting. Kewajiban untuk memberi sumbangan finansial yang telah dimulai pada
masa pendudukan Jepang terus berlanjut dengn momentum yang lebih besar
disepanjang era revolusi (Twang Peck, 2007: 412).
Ketegangan yang terjadi antara
Pemerintah Indonesia dengan pengusaha Cina tidak dapat dihindari lagi seiring
semakin pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat Tionghoa sebagai kaum
minoritas. Walaupun sebenarnya posisi orang Tionghoa
mulai berubah setelah datangnya bangsa Barat, terutama setelah orang Belanda
membangun kekuasaan kolonial mereka. Pemerintah kolonial Belanda membagi
penduduk Hindia Belanda (nama Indonesia di masa penjajahan Belanda) setidaknya ke
dalam tiga kelompok rasial yaitu:
1.
Eropa (terutama Belanda)
2.
Timur asing (terutama Tionghoa) dan penduduk
pribumi
3.
Ketiga kelompok ini memainkan peran ekonomi
yang berbeda-beda.
Orang Belanda bergerak dalam bisnis
perdagangan besar, orang-orang Tionghoa dalam perdagangan perantara antara
penghasil dan pembeli, sedang kaum pribumi sebagai petani dan pedagang kecil
asongan. Dari kenyataan tersebut maka Belanda telah menerapkan politik Divide
et Impera alias politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung
kekuasaan penjajahan. Mereka takut jika terdapat persatuan antar-ras yang
berbeda itu yakni antara kelompok Tionghoa dengan kaum pribumi dapat mengancam
bahkan dapat mengakhiri kekuasaan kolonial.
Secara garis
besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada
masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan
agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam
menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk
mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan
pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memang sangat berbeda dalam
mencari dan mengelola kekayaan.
Penduduk
pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari
tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo,
nriman ing pandum, sak titahe (tetap menerima dan mensyukuri rizki
walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah
membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung
selalu mencari untung. Satu hal yang sangat unik dari pola piker orang Cina
adalah :’’ seandinya kita memiliki pendapatan sebesar Rp 100.000,- dan tiap
harinya pengeluaran kita Rp 30.000,- maka saat kita mendapatkan penghasilan
diatas Rp 100.000,- pengeluaran kita harus tetap Rp 30.000,- dan hal itu harus
tetap dilakukan sampai kita memiliki kehidupan yang mapan”. Hal ini membuktikan
bahwa orang Tionghoa memiliki prinsip yang sangat teratur dalam mengatur
keuangan mereka.
Jika
dua karakter yang memang sejak semula berbeda budaya dan pola pikir ini
mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni,
berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan
sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya
tetapi terus saja mengeluarkan asap.
Walaupun pada
Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk
berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini
menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya
menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Akan tetapi Potensi konflik yang kerap kali dikhawatirkan akan terjadi antar
warga Tionghoa dengan penduduk pribumi akibat kesenjangan Ekonomi tampaknya
tidak pernah terjadi di Pecinan Semarang. Penduduk asli di sekitar Pecinan
lebih memilih untuk Hidup bersama dan saling menguntungkan seperti yang
dikatakan Pak Mintarjo seorang pedagang ayam Goreng di kawasan Pecinan. Ketika
ia ditanya apakah Bapak terlibat dalam kerusuhan antara orang Tionghoa dan
warga pribumi yang pernah terjadi di Semarang ia mengatakan” Ya, ndak urusan
saya, buat apa? Kita pedagang cari uang, nanti saya urusan. Cina tau, o itu Pak
Min yang ikut konflik. Mati saya.” Bahkan pak Mintarjo juga mengatakan bahwa
banyak pengusaha-pengusaha di daerah tersebut yang memperkerjakan orang
pribumi.
B.
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial
masyarakat Tionghoa jaman dahulu tidak jauh berbeda dengan sekarang ini. Secara
garis besar kehidupan sosial mereka tidak begitu baik salah satunya disebabkan
karena tidak adanya saling komunikasi antar warga. Mereka lebih senang hidup
sendiri-sendiri atau yang sering disebut dengan individualis. Berdasarkan
keterangan dari salah satu narasumber wawancara yang Mengatakan bahwa “kalau ada
yang bilang, warga WNI keturunan Cina itu akur “Noncent” itu tidak benar. Jadi mereka itu hidupnya itu individu,
tidak memikirkan teman maupun tetangga. Kecuali kerabatnya dia sendiri. Bahkan
anak mereka juga dilarang bergaul dengan komunitas cina yang lain dan biasanya
mereka memilihkan sekolah-sekolah khusus bagi anaknya”. Akan tetapi berbeda
kasusnya apabila kita melihat hubungan mereka dengan warga pribumi. Kawasan
Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni
oleh warga pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun
Jawa telah berinteraksi dalam dalam waktu yang lama. Interaksi sosial antara
warga etnis Cina dengan pribumi di Semarang
berbeda dengan di daerah lain. Dalam hubungannya, etnis Tionghoa
berhubungan baik dengan rakyak pribumi. Hubungan mereka sangat rukun dan
harmonis berbeda dengan masyarakat Tionghoa di daerah lain ditandai dengan
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diberbagai daerah sepaerti di solo pada 22-23
november 1980 yang dipicu hanya karena perkelahian antara 3 siswa sekolah guru
dengan pemuda Tionghoa.
(Setiono, 2008: 1025)
(Setiono, 2008: 1025)
Pada jaman Bapak
Soekarno, kerukunan antara WNI keturunan itu bisa dikatakan bagus. Pada Orde
Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa
seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dan lain-lain. Bahkan Oei
Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa
Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari
kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Namun sejak jamannya Bapak
Soeharto mulai pecah. Kerusuhan anti tionghoa terjadi dimana-mana. Pada masa
akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan
peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena
kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara
mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya. Jadi
hidupnya mereka itu seakan-akan takut dihantui rasa takut untuk bergaul, dan
membayangkan saling teman itupun mereka takut.
Mulai rukun
lagi itu mulai masa pamerintahan Bapak
Abdul Rahman Wahid yang memberikan kebebasan kepada masyarakat yang telah
banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walaupun
belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya
tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat
Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa
dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan
umum hal tersebut dilakukan.
Di komplek
pecinan Semarang ini masyarakatnya susah untuk diatur untuk kegiatan seperti
kumpulan bulana RT tidak pernah datang paling-paling yang datamg hanya 3 orang sampai
10 orang, padahal penduduknya dalam 1 RT ada 60-an KK. Pengadaan kerjabakti
untuk membersihkan lingkungan juga tidak pernah ada yang mau datang. Apalagi
kalau ada tetangga mereka yang sakitpun mereka tidak mengetahui dan tidak ada yang
menjenguk apalagi uang sosial, semuanya biaya sendiri. Kegiatan-kegiatan
menyambut dan memeriahkan HUT-RI juga
tidak pernah ada.
C. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa
Selama ini warga
Tionghoa tidak dapat secara bebas melaksanakan adat istiadat mereka. Hal ini
dikarenakan pemerintah tidak memberikan ijin untuk merayakan kebudayaan mereka
sepetri Imlek dan Barongsai. Barulah sejak adanya Peraturan Presiden No.6/2000 yang mencabut
Instruksi Presiden No.14/1967 yang dikeluarkan pemerintahan Suharto. Inpres itu
melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan
pencabutan larangan tersebut maka terbuka jalan bagi etnik Tionghoa untuk
menghidupkan budaya tradisional mereka.
Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan oleh etnik Tionghoa.
Dalam tahun 2000, Gus Dur juga mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sukarela. Selama kekuasaan Suharto, tahun baru itu tidak dirayakan oleh etnik Tionghoa.
Semakin
berkembangnya jaman, kebudayaan yang ada di daerah Pecinan sendiri juga
mengalami banyak perubahan. Budaya asli atau khas dari para warga yang memang
mayoritas keturunan Tionghoa asli juga sudah bergeser. Hal itu terlihat jelas
dari semakin berkurangnya perayaan-perayaan yang mereka adakan, sebagai
peringatan hari besar mereka yang beragama Konghucu. Berkurangnya perayaan yang
diadakan disebabkan karena warga Tionghoa di Pecinan sendiri sudah banyak yang
berpindah keyakinan, ke Kristen maupun Katolik. Selain itu, kendala yang memang
berpengaruh besar adalah kurangnya atau terbatasnya dana yang ada, seperti
diketahui bahwa untuk mengadakan perayaan besar, dibutuhkan dana yang besar
pula, sehingga pihak klenteng sebagai pengurus perayaan juga keberatan dalam
hal pendanaan. Ijin dari pemerintah setempat juga menjadi penghalang, karena
demi terlaksananya perayaan besar masyarakat Tionghoa, maka juga melibatkan
penutupan, maupun pengalihan jalan, yang hal tersebut pasti menghambat laju
lalu lintas, maupun perekonomian, apalagi kawasan Pecinan yang sangat
berdekatan dengan pasar besar di Semarang, yaitu Pasar Johar.
Hilangnya budaya
khas yang ada di Pecinan sendiri juga dikarenakan semakin sibuknya aktifitas
yang dilakukan oleh warga sekitar. Hal itu dapat dilihat pula dari sekian
banyak klenteng, hanya beberapa orang saja yang masih melakukan sembahyang
setiap harinya. Arus modernisasi juga membawa banyak pengaruh terhadap
kebudayaan di sana. Terbukti bahwa warga asli Tionghoa yang sejak kecil tinggal
di sana sampai sekarang, sudah jarang ditemukan.
Kebanyakan warga
sudah berpindah ke tempat lain. Bangunan yang menjadi salah satu ciri khas di
Pecinan pun sudah tak menjadi pusat perhatian dari masyarakat sekitar. Usangnya
bangunan di sana yang memang kebanyakan berupa ruko (rumah toko) juga sudah
tidak terawat lagi. Hanya beberapa yang tampak direnovasi. Hal ini berbeda
dengan klenteng-klenteng yang ada di sana, yang dengan semakin berkembangnya
zaman ini, banyak terjadi adanya perubahan dengan adanya renovasi. Klenteng
yang ada di sana keadaannya sangat bagus dan terlihat mencolok dari beberapa
bangunan yang ada di sana.
Kehidupan budaya di sekitar klenteng memang
masih tetap dipertahankan, namun sudah tidak begitu mencolok, karena sudah
tidak secara terbuka, disebabkan tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar.
Adanya perayaan disekitar klenteng juga hanya bekerjasama dengan klenteng yang
menganut dewa yang sama tanpa mengikutsertakan warga sekitar, mereka hanya
mengundang warga yang sering beribadah di sana.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Masyarkat
pecinan apabila dilihat dari kehidupan sosialnya masih cenderung bersifat
individualis. Mereka juga lebih senang tinggal di daerah lain yang lebih nyaman
seperti Puri Anjasmoro, sedangkan rumah mereka yang ada di Pecinan hanya
digunakan untuk usaha. Akan tetapi apabila dilihat dari segi ekonomi yang
selama ini menjadi sumber sentiment antara warga pribumi dan Tionghoa sehingga,
kerap kali menimbulkan konflik justru tidak pernah menjadi masalah di Pecinan
Semarang. Mereka lebih senang hidup berdampingan sehingga dapat saling
menguntungkan seperti simbiosis yang terjadi
antara pedagang pribumi dan warga Cina yang saling membutuhkan. Walaupun
secara sosial tidak saling gotong royang tetapi justru melalui kepentingan
ekonomi mereka bekerjasama.
Kehidupan budaya mereka mengalami
pasang surut sejak jaman kemerdekaan hingga saat ini. Sebelumnya pada tahun
1950-1965 warga Tionghoa tidak sepenuhnya mendapat kebebasan dalam merayakan
kebudayaan mereka barulah setelah Presiden Abdul Rahman Wahid perayaan seperti
Imlek dapat secara terbuka dirayakan. Akan tetapi sangat disayangkan bangunan
yang ada di daerah pecinan kurang mendapat paerhatian sebagai warisan Budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Twang
Peck Yang. 2007. Elit Bisnis Cina Di
Indonesia. Jakarta: Diadit Media.
Setiono,
G Benny. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
http:/
dtunas. Edublogs. Org/ 2008/ 10/ 24/ intermezzo- Pecinan of Semarang.
http:/
Marijelajahindonesia. Blogs. Com.
http:/
Pendidikan Kritis. Wordpress. Com
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8504.0
Wawancara
dengan Bapak Hendra Harsono pada tanggal 13 November 2010
Wawancara
dengan Pak Mintarjo pada tanggal 13 November 2010
Wawancara
dengan Bapak LEE CHOU CHEN pada
tanggal 7 Desember 2010
Wawancara
dengan Ibu Rahayu pada tanggal 7 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar